UPACARA TRADISI BEKAKAK
UPACARA TRADISI BEKAKAK
Pada
hakekatnya, kesenian Jawa yang asli dan indah selalu terdapat di dalam
lingkungan istana raja dan di daerah-daerah Jawa sekitarnya. Sebagai
pusat kerajaan-kerajaan besar terdahulu, pulau Jawa khususnya kota
Yogyakarta / Jogja memiliki kesenian khas dan kebudayaan yang tinggi,
bahkan merupakan pusat serta sumber kesenian di Indonesia. Salah satu
budaya yang sekarang masih ada dan diperingati setian tahunnya adalah
upacara Bekakak.
A. ASAL USUL BEKAKAK
Upacara
Bekakak dilaksanakan setiap bulan Sapar, hari Jumat antara tanggal
10-20, dilakukan untuk menghormati awah Kyai dan Nyai Wirasuta yang
menjadi abdi dalem Penangsang HB I, bertugas membawa payung kebesaran
Pakubuwono I. Oleh masyarakat sekitar, mereka dianggap sebagai cikal
bakal penduduk Gamping. Upacara dimulai dengan kirab sepasang boneka
pengantin Bekakak yang terbuat dari ketan dan cairan gula merah. Di
puncak acara, Bekakak dibagikan kepada para pengunjung
Bekakak
disebut juga saparan bekakak. Disebut saparan karena pelaksanaan
upacara bekak jatuh atau berkaitan dengan bulan Sapar. Kata Saparan
berasal dari kata sapar (bulan arab) dan akhiran-an berasal dari upacara
selametan yang diadakan setiap bulan Sapar. Saparan ini hanya tiruan.
Bekakak berati korban penyembelihan manusia atau hewan. hanya saja,
bekakak yang disembelih zaman sekarang hanya tepung ketan yang dibentuk
seperti pengantin laki-laki dan perempuan yang sedang duduk bersilah.
Sebelum diarak untuk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara
midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat,
pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk
memberi restu. Orang-orang begadang suntuk demi menyambut kedatangan
para bidadari tersebut.
Pada
siang harinya, ”pengantin diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman,
Yogyakarta , menuju ke Gunung Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta
dan Nyai wirasuta, abdi dalem Sri Sultan HB 1, yang hilang tanpa bekas.
Kyai Wirasuta adalah abdi dalem penongsong , abdi dalem pembawa payung
ketika Sri Sultan HB1 bepergian . Ketika Sultan pindah dari
Ambarketawang ke keraton yang baru, abdi dalem ini tidak ikut pindah dan
tetap tinggal di Gampingan. Ia menjadi cikal-bakal penduduk disana . Ia
tinggal didalam gua dibawah Gunung Gamping tersebut. Pada hari Jumat
Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan sapar, menjelang purnama terjadi
musibah yang menimpa Kyai Wirasuta sekeluarga. Tiba-tiba gunung gamping
yang didiami runtuh. Kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan
kesayangannya berupa Landak, gemak, dan merpati terkubur oleh
reruntuhan.
Sri
Sultan HB 1 segera menitahkan kepada para prajuritnya untuk mencari
jenazah mereka, akan tetapi jenazah kyai wirosuto dan Nyai wirosuto
tidak ditemukan. Maka Sri Sultan memerintahkan kepada abdi dalem keraton
supaya setahun sekali, setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20 untuk
membuat selamatan dan ziarah di desa ambarketawang tepatnya di Gunung
Gamping, dengan tujuan untuk mengenang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta
sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayatnya.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang-danyang penunggu Gunung Gamping. Dengan tujuan agar mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gamping di sana. Karena kebanyakan masyarakat disana mencari nafkah dengan cara menambang batu. Dan inilah photo upacara tradisi bekakak tahun 2009.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang-danyang penunggu Gunung Gamping. Dengan tujuan agar mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gamping di sana. Karena kebanyakan masyarakat disana mencari nafkah dengan cara menambang batu. Dan inilah photo upacara tradisi bekakak tahun 2009.
Jogjakarta
memang menyimpan beragam khasanah kebudayaan, yang mungkin masih jarang
diketahui oleh para penduduk luar Jogja. meskipun penduduk Jogja masih
banyak yang awam tentang keanekaragaman budaya yang ada karena sebagian
dari mereka adalah para pendatang. Salah satu kekayaan budaya yang
gaungnya masih kalah menggema dibandingkan grebeg mulud, yaitu upacara
Saparan atau dikenal pula dengan sebutan Kirab Bekakak.Kirab
bekakak yang diadakan setiap tahun di Gamping, Sleman ini sejatinya
masuk dalam kalender pariwisata pemerintah Kabupaten Sleman dan
pemerintah Provinsi DIY. Namun entah karena lokasi pelaksanaannya yang
jauh dari pusat kota, atau lantaran faktor yang lain, acara yang satu
ini memang jauh kemeriahannya dibandingkan grebeg mulud atau sekatenan.
Acara ini sendiri diadakan tiap hari Jum’at, minggu ke tiga bulan Sapar
(nama bulan dalam penanggalan Islam). Kenyataannya, kirab bekakak ini
tidak kalah menarik untuk dinikmati dan diikuti.
Dalam
setiap penyelenggaraannya, rute Kirab diawali dari Balai Desa
Ambarketawang, berjalan menuju Pesanggrahan Ambarketawang yang terletak
di Gunung Gamping. Dalam Kirab tersebut diaraklah dua pasang boneka
penganten, disebut pula bekakak, yang dibuat dari tepung beras ketan
yang diisi juruh atau gula merah yang dicairkan. Selain arakan bekakak,
Kirab juga diikuti oleh brigade prajurit serta rombongan berbagai macam
kesenian tradisional. Sesampainya di Pesanggarahan, penganten atau
bekakak tersebut disembelih hingga keluar juruhnya, dan makanan yang ada
dijodang kemudian disebarkan ke arah pengunjung.
Para
pengunjung selalu dengan rela menunggu sambil berdesak - desakan untuk
mendapatkan bagian dari bekakak tersebut. Mereka percaya, walaupun
sedikit, tubuh bekakak yang terbuat dari ketan itu bisa mendatangkan
berkah bagi mereka yang berhasil mendapatkannya. Tradisi seperti ini
memang masih melekat pada sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan
Jogja pada khususnya. Orang menyebutnya ngalap berkah. Adapun cerita di
balik penyelenggaraan kirab bekakak ini dipercaya berawal dari
meninggalnya Ki Wirosuto bersama keluarganya akibat runtuhnya Gunung
Gamping. Ki Wirosuto sendiri adalah abdi Raja Mataram, Sultan
Hamengkubuwono I.
Upacara
Saparan ini merupakan perintah dari Sultan kepada Demang Gamping untuk
mengadakan selamatan dengan membuat sepasang boneka yang terbuat dari
tepung beras ketan berisikan gula merah cair. Boneka tersebut harus
disembelih sebagai simbolisasi pengorbanan Ki Wirosuto.
Adapula
cerita lain yang menyebutkan bahwa tradisi ini ditujukan pula untuk
keselamatan bagi penduduk setempat yang pada umumnya berprofesi sebagai
pengambil kapur gamping. Konon dahulu banyak orang yang tergelincir dan
meninggal saat mengambil gamping. Dan anehnya kecelakaan yang merenggut
nyawa itu selalu terjadi pada bulan Sapar. Oleh karena itu dengan
diadakannya tardisi Saparan, warga setempat percaya bahwa tradisi ini
sanggup memberikan kedamaian serta ketentraman bagi mereka. Dengan
menjaga dan melestarikan tradisi ini, segala kesialan dan mara bahaya
dipercaya bisa menjauh dari masyarakat setempat.
Peran
sesajen dalam usungan kirab yaitu sebagai simbol membina hubungan
batiniah yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan semesta.Setiap kirab
selalu diawali penyerahan patung bekakak kepada perangkat desa setempat.
Sekaligus penyerahan air suci Tirto Donojari dan Tirto Mayangsari yang
diambil dari sumber air di lokasi bekas Keraton Ambarketawang.Dan, kirab
selanjutnya bergerak menuju Gunung Gamping dan Gunung Killing yang
berjarak 4 kilometer dari lapangan Ambarketawang. Sampai di sana
sepasang bekakak akhirnya disembelih.
Buat Masyarakat jogja, perayaan Sapar-an Bekakak selalu berkembang sesuai zaman. Semula fungsinya sebagai tanda syukur atas jasa kesetiaan Kiai Wiro-suto sekeluarga kepada raja. Belakangan tradisi itu sedikit bergeser menjadi sarana tolak bala agar masyarakat yang mencari batu gamping terbebas dari malapetaka.Pada masa kini, upacara tradisional dengan menyembelih sepasang bekakak akhirnya menjadi produk pariwisata.Adat seperti Saparan Bekakak ialah satu dari sekian banyak kekayaan budaya yang ada di Yogyakarta.
Buat Masyarakat jogja, perayaan Sapar-an Bekakak selalu berkembang sesuai zaman. Semula fungsinya sebagai tanda syukur atas jasa kesetiaan Kiai Wiro-suto sekeluarga kepada raja. Belakangan tradisi itu sedikit bergeser menjadi sarana tolak bala agar masyarakat yang mencari batu gamping terbebas dari malapetaka.Pada masa kini, upacara tradisional dengan menyembelih sepasang bekakak akhirnya menjadi produk pariwisata.Adat seperti Saparan Bekakak ialah satu dari sekian banyak kekayaan budaya yang ada di Yogyakarta.
B. Tahap-tahap dilaksanakannya upacara bekakak
Upacara bekakak ini dilaksanakan dengan empat tahap, diantaranya:
1. Tahap Midodareni Bekakak
2. Tahap Kirab
3. Tahap Nyembelih Pengantian Bekakak
4. Tahap Sugeng Ageng
Sebelum
acara dilaksanakan, ada semacam mujahadahan yang dipimpin oleh sesepuh
dari desa ambarketawang lalu dilaksanakanlah dengan arak-arakan peserta
kirab dari berbagai “bregada” (prajurit),20 pasukan berkuda,4 pasukan
bergajah, 2 bekakak, dan itu dimulai dari halaman balai desa
Ambarketawang menuju Gunung Gamping yang berjarak 5 km, pada hari kamis
mulai jam 20.00 dalam bentuk Midodareni serta pagelaran wayang kulit.
Puncak
acaranya berupa kirab bekakak pada hari jum’at di desa Ambarketawang,
kirab diawali upacara resmi yang dimeriahkan pertunjukkan tari
gambyong(dahulu) dan kalau sekarang dengan (tahlilan,isthighosah) agar
diwaktu mendatang lebih baik dari pada dulu. Peserta kirab dibagi
menjadi 3:
1. pra kitab: peserta peleton inti & drum band
2.
kirab adat: manggalayuda (pemimpin) kirab, 4 (pasukan
bergajah), 20 (pasukan berkuda), 2 bekakak
3. kirab penggembira: kesenian yang beraneka ragam,misalnya: tarian-tarian, dll.
C. Nilai Norma-norma dalam upacara bekakak
Proses
terbentuknya sistem keagamaan pada masyarakat yang belum mengenal
tulisan, berawal dari munculnya emosi keagamaan sehingga mempengaruhi
manusia untuk melakukan aktifitas-aktifitas ritual. Dengan memiliki
emosi keagamaan itu segala sesuatu yang tidak berarti, memiliki nilai
keramat.
KESIMPULAN
Upacara Bekakak dilaksanakan pada minggu ke 3 dibulan sapar dan mulai hari kamis jam 20.00, sampai hari jum’at pada waktu nyembelih bekakak pada jam 16.00, bekakak terbuat dari ketan dan gula jawa, acara tersebut dilaksanakan guna mengenang jasa ki wirosuto dan nyi wirosuto yang mengabdi kepada sri sultan sampai meningga. Lalu sultan mengatakan kepada abdi dalemnya untuk mengadakan selamatan setiap tahun pada bulan sapar, tepatnya tanggal 10-20 bulan sapar.
Upacara diadakan atas perintah Pangeran Mangkubumi, dan upacara tersebut dilaksanakan dengan empat tahap: tahap midodareni, kirab,nyembelih pengantin, sugeng ageng. Peserta kirab dibagi menjadi tiga: pra kirab, kirab adat, kirab penggembira. Tujuannya untuk nyelamati (mendo’akan) ki wirasuta dan nyi wirosuto, serta menyedekahkan sebagian hasil panen mereka untuk bersama Dan sebelum upacara nyembelih bekakak pengantin, ada ritual khusus semacam mujahadahan dan tahlilannya juga.
Upacara Bekakak dilaksanakan pada minggu ke 3 dibulan sapar dan mulai hari kamis jam 20.00, sampai hari jum’at pada waktu nyembelih bekakak pada jam 16.00, bekakak terbuat dari ketan dan gula jawa, acara tersebut dilaksanakan guna mengenang jasa ki wirosuto dan nyi wirosuto yang mengabdi kepada sri sultan sampai meningga. Lalu sultan mengatakan kepada abdi dalemnya untuk mengadakan selamatan setiap tahun pada bulan sapar, tepatnya tanggal 10-20 bulan sapar.
Upacara diadakan atas perintah Pangeran Mangkubumi, dan upacara tersebut dilaksanakan dengan empat tahap: tahap midodareni, kirab,nyembelih pengantin, sugeng ageng. Peserta kirab dibagi menjadi tiga: pra kirab, kirab adat, kirab penggembira. Tujuannya untuk nyelamati (mendo’akan) ki wirasuta dan nyi wirosuto, serta menyedekahkan sebagian hasil panen mereka untuk bersama Dan sebelum upacara nyembelih bekakak pengantin, ada ritual khusus semacam mujahadahan dan tahlilannya juga.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar