Selasa, 11 Desember 2012

Wayang Orang
Wayang Orang atau Wayang Wong adalah wayang yang diperagakan oleh manusia yang memakai kostum atau pakaian sesuai dengan tokoh wayang yang diperankannya.
Wayang Orang tidak dimainkan oleh dalang, karena setiap tokoh dalam wayang orang bisa bergerak dan berdialog sendiri. Disini, dalang berperan sebagai sutradara yang mengarahkan para pemain. Cerita yang dikisahkan yaitu Mahabharata dan Ramayana.

Dalam beberapa buku mengenai budaya wayang, wayang orang diciptakan oleh kanjeng pangeran Adipati Arya Mangkunegara I (1757-17895). Pada waktu itu para pemain wayang orang adalah para abdi dalem istana, dan dipentaskan secara terbatas.

Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916-1944), wayang orang mulai dikenal pada masyarakat. Dan usaha memasyarakatkan kesenian wayang orang makin pesat saat Sunan Paku Buwana X (1893-1939), memprakarsai pertunjukkan Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang Taman Sri Wedari, dan di Pasar Malam. Para pemainnya sudah tidak abdi dalem saja, tetapi juga orang-orang di luar kraton yang berbakat menari.

Wayang Orang mulai diselenggarakan secara komersil pada tahun 1922, pada saat itu tujuannya hanya untuk mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Pada tahun 1932, Wayang orang pertama kali masuk dalam siaran Radio, yaitu Solosche Radio Vereeniging.

Wayang orang kemudian juga menyebar ke Yogyakarta, pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (1877-1921), keraton Yogyakarta menggelar pementasan Wayang Orang untuk kerabat keraton. Pada saat itu, lakonnya adalah Sri Suwela dan Pregiwa-Pregiwati. Wayang orang Yogyakarta disebut Wayang Wong Mataraman.

Untuk menyelenggarakan suatu pagelaran Wayang Orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dari:

• 20 Orang sebagai pemain (pria dan wanita)
• 12 orang sebagai penabuh gamela, juga merangkap wiraswara
• 2 orang sebagai wiranggana
• 1 orang sebagai dalang.

Dalam pertunjukkan wayang orang setiap gerak yng dilakukan oleh pemain dilakukan dengan tarian, baik saat masuk panggung, keluar panggung maupun adegan intinya. Sedangkan gamelan yang digunakan adalah pelog dan slendro.

Kesenian Jatilan


Jatilan adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Kesenian yang juga sering disebut dengan nama jaran kepang ini dapat dijumpai di daerah-daerah Jawa.
Mengenai asal-usul atau awal mula dari kesenian jatilan ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi kegenerasi lain. Dalam hal ini, ada beberapa versi tentang asal-usul atau awal mula adanya kesenian jatilan ini, diantaranya adalah sebagai berikut. Konon, jatilan ini yang menggunakan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari bambu ini merupakan bentuk apresiasi dan dukungan rakyat jelata terhadap pasukan berkuda Pangeran Diponegoro dalam menghadapi penjajah Belanda. Selain itu, ada versi lain yang menyebutkan, bahwa jatilan menggambarkan kisah perjuangan Raden Patah, yang dibantu oleh Sunan Kalijaga, melawan penjajah Belanda. Adapun versi lain menyebutkan bahwa tarian ini mengisahkan tentang latihan perang pasukan Mataram yang dipimpin Sultan Hamengku Buwono I, raja Mataram untuk mengadapi pasukan Belanda.
Pagelaran kesenian ini dimulai dengan tari-tarian oleh para penari yang gerakannya sangat pelan tetapi kemudian gerakanya perlahan-lahan menjadi sangat dinamis mengikuti suara gamelan yang dimainkan. Gamelan untuk mengiringi jatilan ini cukup sederhana, hanya terdiri dari drum, kendang, kenong, gong, dan slompret, yaitu seruling dengan bunyi melengking. Lagu-lagu yang dibawakan dalam mengiringi tarian, biasanya berisikan himbauan agar manusia senantiasa melakukan perbuatan baik dan selalu ingat pada Sang Pencipta, namun ada juga yang menyanyikan lagu-lagu lain. Setelah sekian lama, para penari kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan, mereka melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti rancaknya suara gamelan yang dimainkan.
Di samping para penari dan para pemain gamelan, dalam pagelaran jatilan pasti ada pawang roh yaitu orang yang bisa “mengendalikan”roh-roh halus yang merasuki para penari. Pawang dalam setiap pertunjukan jatilan ini adalah orang yang paling penting karena berperan sebagai pengendali sekaligus pengatur lancarnya pertunjukan dan menjamin keselamatan para pemainnya. Tugas lain dari pawang adalah menyadarkan atau mengeluarkan roh halus yang merasuki penari jika dirasa sudah cukup lama atau roh yang merasukinya telah menjadi sulit untuk dikendalikan.
Selain melakukan gerakan-gerakan yang sangat dinamis mengikuti suara gamelan pengiring, para penari itu juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tidak dapat dinalar oleh akal sehat. Di antaranya adalah mereka dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam seperti silet, pecahan kaca, menyayat lengan dengan golok bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Atraksi ini dipercaya merefleksikan kekuatan supranatural yang pada jaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan Jawa, dan merupakan aspek nonmiliter yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda.
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian tradisional jatilan ini seringkali juga mengandung unsur ritual karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang atau dukun melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin pada yang menguasai tempat tersebut yang biasanya ditempat terbuka supaya tidak menggangu jalannya pagelaran dan demi keselamatan para penarinya.
Pagelaran ini seperti pagelaran seni yang lainnya yang umumnya mempunyai suatu alur cerita. Jadi biasanya jatilan ini membawakan sebuah cerita yang disampaikan dalam bentuk tarian. Saat ini tidak banyak orang yang melihat pertunjukan seni dari sisi pakem bentuk kesenian tersebut melainkan dari sisi hiburannya, yang mereka lihat dan lebih mereka senangi adalah bagian dimana para pemain jathilan ini seperti kerasukan dan melakukan atraksi-atraksi berbahaya. Jadi masyarakat melihat Jathilan sebagai sebuah pertunjukan tempat pemain kerasukan. Bukan sebagai pertunjukan yang ingin bercerita tentang suatu kisah.
Kesenian jatilan yang dipertunjukan pada upacara adat Mbah Bergas diawali dengan kesenian warok-warokan, yaitu suatu bentuk kesenian yang berjudul Suminten Edan”. Lakon ini bercerita tentang Suromenggolo yang mempunyai anak bernama Cempluk. Suromenggolo mempunyai saudara seperguruan yang bernama Surobangsat. Surobangsat dan Suromenggolo telah lama tidak berjumpa sehingga ia mengunjungi Suromenggolo. Surobangsat mempunyai anak yang bernama Gentho. Surobangsat bermaksud menjodohkan Gentho dengan cempluk. Namun Suromenggolo tidak setuju. Kemudian terjadilah pertarungan antara keduanya. Surobangsat kalah setelah Suromenggolo mengeluarkan aji-aji pamungkas yang berupa kolor.
Setelah pertunjukan warok-warokan selesai, dilanjutkan dengan pertunjukan tarian oleh pasukan buto yang berjumlah sepuluh orang penari. Tarian ini sebagai kreasi atau sebagai perkembangan dari pertunjukkan jatilan untuk lebih memeriahkan pertunjukan jatilan dan menarik perhatian warga untuk menyaksikan. Gerakan-gerakan tarian ini sangat dinamis dan enerjik, gerakan yang serempak para penari membuat para penonton terpesona.
Aksesoris yang dipakai para penari antara lain gelang kaki, gelang tangan, dan topeng buto yang berwujud hewan-hewan seperti harimau, domba, dan singa. Gerakan yang sangat cepat dan lincah dari para penari membuat gelang kaki yang mereka pakai menimbulkan irama yang rancak.
Setelah pertunjukan tarian buto selesai kemudian dilanjutkan tarian jatilan. Jumlah penari jatilan ada sepuluh orang. Aksesoris yang digunakan antara lain gelang tangan, gelang kaki, ikat lengan, kalung (kace), mahkota (kupluk Panji), dan keris. Makna dari busana dan aksesoris yang digunakan adalah meniru tokoh Panji Asmarabangun, yaitu putra dari kerajaan Jenggala Manik. Dalam pertunjukan jatilan ini juga ada tiga pawang yang bertugas untuk mengatur, menjaga dan menjamin lancarnya pertunjukan, pawang-pawang ini juga bertugas untuk menyadarkan para penari yang kerasukan.
Dalam pertunjukan jatilan juga disediakan beberapa jenis sesaji antara lain pisang raja satu tangkep, jajanan pasar yang berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yaitu tumpeng robyong yang dihias dengan kubis, dawet, beraneka macam kembang, dupa Cina dan menyan, ingkung klubuk (ayam hidup) yang digunakan sebagai sarana pemanggilan makhluk halus dan lain-lain.
Jatilan yang ditampilkan dalam upacara adat Mbah Bergas merupakan sajian dari Paguyuban Kesenian Kuda Lumping Putra Manunggal. Paguyuban ini didirikan sekitar pada tahun 1992. Para penari jatilan berserta penabuh gamelan kurang lebih berjumlah empat puluh orang. Mereka berlatih setiap satu bulan sekali pada pertengahan bulan (biasanya pada malam minggu). Cerita yang disajikan adalah mengadopsi dari Jatilan klasik, yaitu tentang cerita tokoh Kresna. Sedangkan pada warok-warokan selain menampilkan cerita “Suminten Edan” juga mengambil cerita dari babad-babad Jawa, antara lain perang Prabu Baka dengan para Buto.
MARI MENGENAL LUDRUK (1): SEJARAH LUDRUK

Ludruk sejak lama tumbuh, berkembang dan dikenal oleh masyarakat di Jawa Timur, terutama di daerah Surabaya, Jombang, Malang dan sekitarnya. Sebagai kesenian asal Jawa Timur, keberadaan ludruk ditinggalkan penggemarnya karena masuknya hiburan modern dan kurangnya upaya pelestarian dari Pemerintah terkait. Dulu kesenian ludruk sangat melekat di hati masyarakat. Sekarang jumlah penggemarnya menurun drastis. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penonton ludruk pada saat pementasan umumnya sepi pengunjung.
Dalam data Statistik Van Grisse Van 1822 dikatakan bahwa ludruk adalah tari tarian yang dilengkapi dengan cerita lucu yang diperankan oleh pelawak dan travesty atau lelaki yang merias diri sebagai wanita. Ludurk mempunyai unsur tarian, cerita lucu, pelawak dan pemain yang terdiri dari pria semua, meskipun yang diperankan ada peran wanitanya. Seiring berkembangnya ludruk, masuk juga pemain wanita. Dalam kamus Javanansch Nederduitssch Woordenboekv karya Gencke dan T Roorda (1847), ludruk artinya Grappermaker (badutan).
Mengenai asal usul kata ludruk terdapat beberapa pendapat. Cak Markaban, tokoh Ludruk Triprasetya RRI Surabaya mengatakan bahwa ludruk berasal dari kata gela-gelo dan gedrak-gedruk. Jadi yang membawakan ludrukan itu, kepalanya menggeleng-geleng (gela-gelo) dan kakinya gedrak-gedruk (menghentak lantai) seperti penari Ngremo. Sedangkan menurut Cak Kibat, tokoh Ludruk Besutan bahwa ludruk itu berasal dari kata molo-molo lan gedrak-gedruk. Artinya seorang peludruk itu mulutnya bicara dengan kidungan dan kakinya menghentak lantai gedrak - gedruk.
Menurut Dukut Imam Widodo pada bukunya Soerabaia Tempo Doeloe, ludruk berasal dari bahasa Belanda. Pada masa itu banyak anak-anak Belanda muda yang senang menonton. Mereka berkata kepada teman-temanya,“Mari kita leuk en druk.” Artinya yang penting enjoy, happy sambil nonton pertunjukan yang lucunya luar biasa ini, begitu kira-kira maksudnya. Kalau demikian halnya, kesenian itu sudah ada sebelumnya, tetapi belum punya nama “baku”. Lalu lahirlah ucapan bahasa Belanda “Leuk en Druk” itu. Lama kelamaan, leuk en druk diadopsi menjadi bahasa sini ludruk.
Sejarah perkembangan ludruk sebenarnya masih belum dapat dipastikan karena ada beberapa pendapat. Tahun 1890 Gangsar, yang berasal dari desa Pandan, kabupaten Jombang, yang pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen (berkeliling dari rumah ke rumah) dan tarian. Bentuk inilah yang menjadi cikal bakal kesenian ludruk.
Periode Ludruk Ngamen atau Lerok
Lerok merupakan bentuk permulaan kesenian ludruk yang berlangsung pada tahun1907 – 1915 di daerah Jombang, Jawa Timur. Pelopornya adalah Pak Santik yang berasal dari desa Ceweng, kecamatan Goda, kabupaten Jombang dan temannya, Pak Amir yang berasal dari desa Lendi.
Istilah Lerok sebenarnya berasal dari kata lorek yang artinya penuh coretan. Dimana wajah pemain lerok penuh dengan coretan. Lerok disebut juga kledek lanang yaitu suatu seni pertunjukan yang mengutamakan nyanyi-nyanyian dalam bentuk kidungan dan pantun (parikan) yang mempunyai tema sindiran.
Lerok yang dipelopori oleh Pak Santik dan Pak Amir memulai pekerjaannya ngamen dengan menggunakan peralatan kendang, berkeliling dari desa ke desa. Kemudian Pak Santik mengajak Pak Pono untuk mengenakan busana wanita dengan sebutan wedokan, agar pertunjukan menarik dan lucu. Secara teoritis dimulailah tradisi travesty pada grup ngamen tersebut. Jumlah pemain lerok ini beranggota tiga orang.
Periode Ludruk Besut
Ludruk besut berkembang pada tahun 1915 – 1920an dengan jumlah pemain telah menjadi empat, yaitu Pak Santik, Pak Amir, Pak Pono dan Marpuah. Pelaku utama selalu mengenakan kain panjang (bebed putih) yang menjadi lambang kesucian dan bertugas menyampaikan maksud (bahasa Jawa: mbekta maksud atau pembawa maksud). Pelaku utamanya disebut besut. Inilah yang merubah sebutan lerok menjadi besut.
Pementasan ludruk besutan diawali dengan upacara pembukan berupa saji-sajian atau persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan kepada empat penjuru mata angin. Kemudian baru pertunjukan yang menampilkan sindiran, lawakan, kidungan dan pantun-pantun yang disusun dalam suatu kerangkan cerita yag telah ditentukan dan tetap. Di tahun 20-an, istilah Ludruk Besutan yang terkenal ada tiga lakon judul cerita, yaitu Kakang Besut, Paman Jamino, dan Bojoe Besut, Asmunah (ada yang menyebutnya Asmunah atau Rusmini).
Periode Ludruk Lerok Besut
Periode ini berlangsung tahun 1920 – 1930 dengan masih mempertahankan model besut. Setelah upacara persembahan, dilanjutkan dengan tarian yang bertujuan mengahturkan perasaan kepada Tuhan. Dimana penarinya digambarkan sebagai seorang satria dengan gerakan yang bermacam macam sehingga disebut tari reno-reno. Penarinya menggunakan sampur dipundaknya, maka disebutlah penari ngremo (tembang kriyo atau kata kerja).
Seiring perkembangan kesenian lerok di berbagai daerah, maka munculah versi tari remo Jombangan (gaya Jombang) dan tari remo Suroboyoan (gaya Surabaya). Pada masa itu penari remo telah memiliki ciri khas tersendiri pada tata busananya yaitu mengenakan topi hitam, baju putih (kadang kadang dengan dasi hitam), kaki kanan mengenakan gongseng (pengatur irama gending) dan pada telinga kirinya dipasang anting-anting.
Gerakan tariannya dengan menggerakan kepala (dalam bahasa Jawa disebut gela gelo) dan gerakan kaki yang dinamis dihentak-hentakkan (dalam bahasa Jawa disebut gedrag-gedrug). Inti dari tarian ini ialah sirah gela gelo, sikil gedrag gedrug atau kepala digerakkan, kaki dihentakkan, maka lahirlah istilah ludruk.
Pementasan ludruk besutan terdiri dari tandhakan (tarian), dagelan (lawakan) dan besutan. Dalam pementasannya belum menampilkan cerita secara utuh, melainkan dialog yang dikembangkan secara spontan. Pada tahun 1922 – 1930 dalam pementasan ludruk mulai dimasukkan cerita didalamnya. Ludruk yang memasukkan unsur cerita didalamnya disebut ludruk sandiwara.
Periode Lerok dan Ludruk.
Periode ini berlangsung tahun 1930 – 1945 dengan bermunculan ludruk di berbagai daerah di Jawa Timur. Nama lerok dan ludruk tetap berdampingan sampai tahun 1955, selanjutnya masyarakat menggunakan nama ludurk. Tahun 1933 Cak Durasim mendirikan Ludruk Oraganizatie (LO). Ludruk ini terkenal dengan jula julinya yang menentang pemerintahan Belanda dan Jepang. Pada masa penjajahan Jepang, ludruk berfungsi sebagai sarana perjuangan. Pemain ludruk memanfaatkan pertunjukan sebagai alat penerangan kepada rakyat untuk mempersiapkan kemerdekaan. Bahkan pemerintah Jepang menangkap Cak Durasim ke dalam penjara hingga meninggal, karena tembang jula julinya yang terkenal:
Bekupon omahe doro, melok Nippon soyo soro
(Bekupon rumahnya burung dara, ikut Jepang tambah sengsara)
Periode setelah Proklamasi
Periode ini berlangsung tahun 1945- 1965 dimana mulai muncul seniman urban (dari desa pindah ke kota). Pelawak Astari Wibowo dan Samjudin mendirikan ludruk Marhaen pada tanggal 19 Juni 1949. Setelah berdirinya ludruk Marhaen di Surabaya, muncul perkumpulan ludruk lain, seperti ludruk Tresna Tunggal, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Irama Tunggal, ludruk Masa Rukun, ludruk Marikaton dan ludruk Massa.
Tahun 1958 RRI Surabaya secara teknik menggunakan peran wanita yang dibawakan oleh wanita sungguhan karena dipentingkan suaranya saja. Sedangkan dalam pengembangannya, pemeran wanita juga tampil di panggung dan RRI Surabaya mendapat banyak ejekan dan cemooh dari para pendukung ludruk. Lama kelamaan cemooh, ejekan dan kritikan dari pendukung ludruk mereda.
Ludruk pada masa itu merupakan alat bagi PKI untuk menggalang massa. PKI memanfaatkan ludruk untuk menanamkan pengaruhnya di masyarakat. Pada tahun 1963 tercatat ada 549 perkumpulan ludruk di Jawa Timur dan banyak diantaranya yang berhaluan kiri.
Periode Orde Baru
Periode ini dimulai tahun 1965 sampai sekarang, dimana sempat terjadi kevakuman pada tahun1965 – 1968. Kevakuman tersebut disebabkan karena ludruk menjadi organisasi terlarang Lekra. Perkumpulan ludruk yang berhaluan kiri bubar, sedangkan perkumpulan ludruk yang tidak terlibat dengan PKI tidak berani melakukan pementasan.
Tahun 1967 Pemerintah Orde Baru berusaha membangkitkan kembali perkumpulan ludruk. Perkumpulan ludruk yang telah diseleksi dari pengaruh Lekra dibina oleh KODAM BRAWIJAYA. Tahun 1968- 1970 terjadi peleburan ludruk yang dikoordinasi oleh DAM Brawijaya. Perkumpulan ludruk di berbagai daerah dibina oleh ABRI hingga tahun 1975. Pembinaan tersebut mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat Jawa Timur dan Indonesia bahwa ludruk adalah teater tradisional khas Jawa Timur yang harus dilestarikan kehadirannya.
Perkembangan kesenian ludruk tidak hanya terbatas di Jawa Timur, melainkan sampai di Jepara, Jawa Tengah. Kesenian ludruk dibawa oleh para pekerja PTPN IX Balong yang berasal dari Jawa Timur dan mulai melakukan pementasan sejak tahun 1969. Bahkan di tahun 1980an – 1990an Ludruk PTPN rutin mengadakan pementasan di halaman RRI Semarang. Setelah tahun 1990an, keberadaan ludruk PTPN mulai tenggelam. Untuk itu para pemain ludruk PTPN mencoba menyelamatkan keberadaan ludruk di Jepara dengan mendirikan perkumpulan ludruk Kembang Budoyo.
Pada tahun 1980 – 1990 tercatat 104 perkumpulan ludruk di Surabaya, diantaranya ludruk RRI Surabaya, ludruk Susana, ludruk Sidik CS, ludruk Mandala dan ludruk Bakotas Surabaya. Seniman ludruk yang dikenal masyarakat seperti Cak Kartolo, Cak Markeso, Cak Baseman Pak Kadham (yang pada pada tahun 1960-an menjadi favorit Presiden Soekarno) dan Marlena. Sayangnya tidak ada catatan berapa jumlah perkumpulan ludruk saat ini
Sendratari Ramayana (Prambanan)
Sendratari Ramayana menceritakan perjalanan hidup Rama. Sedangkan Sendratari yang ditampilkan hanya merupakan sebagian kecil dari perjalanan hidup Rama. Cerita ini Berasal dari aliran / agama hindu yang datang dari India , maka di India pun cerita ini sangat terkenal. Candi Prambanan dipilih sebagai tempat pelaksanaan Sendratari karena candi tersebut merupakan candi peninggalan agama Hindu dan cerita Ramayana juga merupakan cerita beraliran Hindu. Candi Prambanan berfungsi untuk memberi penghormatan bagi Dewa Siwa, Dewa Wisnu, dan Dewa Rahmat. Candi ini juga berfungsi untuk melestarikan budaya dan mengenalkan sejarah bagi para turis.

Bahasa yang digunakan dalam sendratari Ramayana adalah bahasa jawa. Selama ini Tidak pernah disajikan dalam versi bahasa lain , namun diterangkan dalam bentuk narasi ( teks penterjemah bahasa inggris dan bahasa Indonesia ). Usaha yang dilakukan oleh pelaksana untuk mempertahankan sendratari adalah dengan membentuk Sendratari Ramayana dalam bentuk cerita, serta dengan menerbitkan buku, dan membuat wayang kulit. Cerita ini bertema kisah pertarungan Rama dan Rahwana untuk menikahi seorang putrid cantik bernama Dewi Shinta. Cerita ini beramanat bahwa untuk mendapatkan apa yang menjadi milik kita, kita harus berusaha keras, saling percaya, dan meminta pertolongan Tuhan. Selain itu keserakahan serta kejahatan pasti akan kalah. Ada banyak tokoh – tokoh pada cerita ini. Antara lain :
1. Rama bersifat baik hati dan selalu berusaha untuk mendapat kan kembali apa yang hilang.
2. Dewi Shinta bersifat lemah lembut
3. Leksmana yang bersifat setia kepada Rama
4. Rahwana bersifat jahat dan serakah
5. Marica ( Kijang Kencana )
6. Jatayu
7. Hanuman
8. Sugriwa
9. Subali
10. Iriyata
11. Kumbakarna
12. Dewi Tara

Cerita ini memiliki latar waktu di zaman dahulu serta berlatar tempat di Negara Mantili, Kerajaan Alengka, Hutan Dandaka, Gua Kiskendo, Taman Argasoka. Cerita ini memiliki alur maju. Sinopsis cerita adalah sebagai berikut :

Rama Wijaya, Shinta, dan Leksmana sedang bertualang ke hutan Dandaka. Rawana melihat Dewi Shinta dan ingin memperistrinya. Maka Rawana menyuruh Marica untuk mengubah dirinya menjadi kijang kencana. Shinta yang terpesona melihat kijang kencana menyuruh Rama menangkap kijang kencana. Lalu Rama pergi mengejar kijang itu. Setelah menumggu lama, Shinta merasa khawatir dan menyuruh Leksman untuk menyusul Rama. Sebelum meninggalkan Shinta, Leksmana membuat lingkaran pelindung di sekitar Shinta. Saat Rahwana menyadari bahwa Shinta sendirian, ia lelu menyamar menjadi pengemis tua lalu menculik Shinta dan membawanya ke kerajaan Alengka. Dalam perjalanan ke alengka Rahwana bertemu Jatayu dan mereka bertarung, dan Jatyu kalah. Saat Rama dan Leksmana menyadari bahwa Sinta telah hilang, Rama negira Jatayu telah membunuhnya namun ditahan Leksmana. Jatayu menjelaskan semuanya lalu ia mati. Lalu dating Hanuman menceritakan Subali yang merebut Dewi Tara dari Sugriwa. Rama kemudian bersedia membantu Sugriwa. Subali lalu dikalahkan Sugriwa dibantu oleh Rama. Sugriwa akhirnya memutuskan mebantu Rama menyelamatkan Sinta. Lalu Hanuman dikirim ke kerajaan Alenka. Sementara itu Shinta yang menolak lamaran Rahwana untuk memperistrinya tiba – tiba mendengar lagu yang dinyanyikan Hanuman. Lalu Hanuman menghancurkan Taman Argasoka serta membakar Istana Alengka. Lalu Hanuman melaporkan kekuatan pasukan lawan kepada Rama yang membangun jembatam untuk menyerang Alengka. Setelah itu peperangan terjadi dan Rahwana kalah. Kemudian Shinta bertemu Rama kembali namun Rama meragukan kesucian Shinta. Dengan bantuan Dewa Api Shinta berhasil membuktikan kesuciannya. Dan akhirnya Rama menerima Shinta kembali.

Reog ponorogo (jawa timur)



reog ponorogo adalah sebuah kesenian yang berasal dari daerah ponorogo, jawa timur. keberadaannya hanya muncul dalam acara hari keagamaan dan hajatan. ponorogo identik dengan reog. awal mula reog pun menurut sejarah diciptakan oleh ki ageng kutu unmenyindir bhre kertabumi, raja majapahit. yang takutdan tunduk pada selirnya. ada juga asal usulnya dihubung hubungkan dengan cerita panji, yaitu perkawinan antara putera dari kerajaan jenggala dan puteri dari kendiri. demikianlah akhirnya reog menjadi kesenian tradisional yang masih bertahan sampai saat ini di ponorogo. bahkan sudah meluas ke mancanegara.

perkembangan reog saat inipun juga mengalami perkembangan terutama dalam tatanan musik maupun tariannya. contohnya kenong dulu hanya dipakai satu saja tapi sekarang memakai dua kenong. iringan gamelannya pun berkembang. dan demikian gaya reog dinamakan sebagai gaya potrojayan.

warok ponorogo tidak bisa lepas dari reog ponorogo karena yang membuat reog ponorogo dahulunya adalah warok. apa kalian tau warok i



tu apa? warok adalah seseorang yang sudah banyak wewarah. dan reog tidak bisa lepas dari warok. kaduanya terkait erat satu sama lain. dan untuk menjadi seorang warok sangat berat karena syarat2nya pun sangat berat. dan seorang warok pun harus bisa memberi manfaat bagi siapapun.




festival reog biasa nya selalu dikunjungi oleh orang mancanegara. dan yang lebih membuat kaget banyak yang merekamnya untuk kenang kenangan karena sangat berkesan.
bagi orang ponorogo mungkin melihat reog biasa tapi sebetulnya pada saat pertunjukan reog dimulai hampir 80% masyarakat ponorogo berduyun duyun ke alun alun untuk melihat acara tahunan.

UPACARA TRADISI BEKAKAK

UPACARA TRADISI BEKAKAK
Pada hakekatnya, kesenian Jawa yang asli dan indah selalu terdapat di dalam lingkungan istana raja dan di daerah-daerah Jawa sekitarnya. Sebagai pusat kerajaan-kerajaan besar terdahulu, pulau Jawa khususnya kota Yogyakarta / Jogja memiliki kesenian khas dan kebudayaan yang tinggi, bahkan merupakan pusat serta sumber kesenian di Indonesia. Salah satu budaya yang sekarang masih ada dan diperingati setian tahunnya adalah upacara Bekakak.
A. ASAL USUL BEKAKAK
Upacara Bekakak dilaksanakan setiap bulan Sapar, hari Jumat antara tanggal 10-20, dilakukan untuk menghormati awah Kyai dan Nyai Wirasuta yang menjadi abdi dalem Penangsang HB I, bertugas membawa payung kebesaran Pakubuwono I. Oleh masyarakat sekitar, mereka dianggap sebagai cikal bakal penduduk Gamping. Upacara dimulai dengan kirab sepasang boneka pengantin Bekakak yang terbuat dari ketan dan cairan gula merah. Di puncak acara, Bekakak dibagikan kepada para pengunjung
Bekakak disebut juga saparan bekakak. Disebut saparan karena pelaksanaan upacara bekak jatuh atau berkaitan dengan bulan Sapar. Kata Saparan berasal dari kata sapar (bulan arab) dan akhiran-an berasal dari upacara selametan yang diadakan setiap bulan Sapar. Saparan ini hanya tiruan. Bekakak berati korban penyembelihan manusia atau hewan. hanya saja, bekakak yang disembelih zaman sekarang hanya tepung ketan yang dibentuk seperti pengantin laki-laki dan perempuan yang sedang duduk bersilah. Sebelum diarak untuk disembelih, pada malam sebelumnya diadakan upacara midodareni layaknya pengantin sejati. Menurut kepercayaan masyarakat, pada malam menjelang perkawinan, para bidadari turun ke bumi untuk memberi restu. Orang-orang begadang suntuk demi menyambut kedatangan para bidadari tersebut.
Pada siang harinya, ”pengantin diarak dari Balai Desa Ambarketawang, Sleman, Yogyakarta , menuju ke Gunung Gamping. Ini adalah tempat Kyai Wirasuta dan Nyai wirasuta, abdi dalem Sri Sultan HB 1, yang hilang tanpa bekas. Kyai Wirasuta adalah abdi dalem penongsong , abdi dalem pembawa payung ketika Sri Sultan HB1 bepergian . Ketika Sultan pindah dari Ambarketawang ke keraton yang baru, abdi dalem ini tidak ikut pindah dan tetap tinggal di Gampingan. Ia menjadi cikal-bakal penduduk disana . Ia tinggal didalam gua dibawah Gunung Gamping tersebut.  Pada hari Jumat Kliwon sekitar tanggal 10-15 bulan sapar, menjelang purnama terjadi musibah yang menimpa Kyai Wirasuta sekeluarga. Tiba-tiba gunung gamping yang didiami runtuh. Kyai Wirasuta sekeluarga beserta hewan kesayangannya berupa Landak, gemak, dan merpati terkubur oleh reruntuhan.
Sri Sultan HB 1 segera menitahkan kepada para prajuritnya untuk mencari jenazah mereka, akan tetapi jenazah kyai wirosuto dan Nyai wirosuto tidak ditemukan. Maka Sri Sultan memerintahkan kepada abdi dalem keraton supaya setahun sekali, setiap bulan Sapar antara tanggal 10-20 untuk membuat selamatan dan ziarah di desa ambarketawang tepatnya di Gunung Gamping, dengan tujuan untuk mengenang jasa dan kesetiaan Ki Wirasuta sebagai abdi dalem yang loyal sampai akhir hayatnya.
Penyembelihan bekakak dimaksudkan sebagai bentuk pengorbanan untuk para arwah atau danyang-danyang penunggu Gunung Gamping. Dengan tujuan agar mereka tidak mengambil korban manusia, sekaligus berkenan memberikan keselamatan kepada masyarakat yang menambang batu gamping di sana. Karena kebanyakan masyarakat disana mencari nafkah dengan cara menambang batu. Dan inilah photo upacara tradisi bekakak tahun 2009.
Jogjakarta memang menyimpan beragam khasanah kebudayaan, yang mungkin masih jarang diketahui oleh para penduduk luar Jogja. meskipun penduduk Jogja masih banyak yang awam tentang keanekaragaman budaya yang ada karena sebagian dari mereka adalah para pendatang. Salah satu kekayaan budaya yang gaungnya masih kalah menggema dibandingkan grebeg mulud, yaitu upacara Saparan atau dikenal pula dengan sebutan Kirab Bekakak.Kirab bekakak yang diadakan setiap tahun di Gamping, Sleman ini sejatinya masuk dalam kalender pariwisata pemerintah Kabupaten Sleman dan pemerintah Provinsi DIY. Namun entah karena lokasi pelaksanaannya yang jauh dari pusat kota, atau lantaran faktor yang lain, acara yang satu ini memang jauh kemeriahannya dibandingkan grebeg mulud atau sekatenan. Acara ini sendiri diadakan tiap hari Jum’at, minggu ke tiga bulan Sapar (nama bulan dalam penanggalan Islam). Kenyataannya, kirab bekakak ini tidak kalah menarik untuk dinikmati dan diikuti.
Dalam setiap penyelenggaraannya, rute Kirab diawali dari Balai Desa Ambarketawang, berjalan menuju Pesanggrahan Ambarketawang yang terletak di Gunung Gamping. Dalam Kirab tersebut diaraklah dua pasang boneka penganten, disebut pula bekakak, yang dibuat dari tepung beras ketan yang diisi juruh atau gula merah yang dicairkan. Selain arakan bekakak, Kirab juga diikuti oleh brigade prajurit serta rombongan berbagai macam kesenian tradisional. Sesampainya di Pesanggarahan, penganten atau bekakak tersebut disembelih hingga keluar juruhnya, dan makanan yang ada dijodang kemudian disebarkan ke arah pengunjung.
Para pengunjung selalu dengan rela menunggu sambil berdesak - desakan untuk mendapatkan bagian dari bekakak tersebut. Mereka percaya, walaupun sedikit, tubuh bekakak yang terbuat dari ketan itu bisa mendatangkan berkah bagi mereka yang berhasil mendapatkannya. Tradisi seperti ini memang masih melekat pada sebagian masyarakat Jawa pada umumnya dan Jogja pada khususnya. Orang menyebutnya ngalap berkah. Adapun cerita di balik penyelenggaraan kirab bekakak ini dipercaya berawal dari meninggalnya Ki Wirosuto bersama keluarganya akibat runtuhnya Gunung Gamping. Ki Wirosuto sendiri adalah abdi Raja Mataram, Sultan Hamengkubuwono I.
Upacara Saparan ini merupakan perintah dari Sultan kepada Demang Gamping untuk mengadakan selamatan dengan membuat sepasang boneka yang terbuat dari tepung beras ketan berisikan gula merah cair. Boneka tersebut harus disembelih sebagai simbolisasi pengorbanan Ki Wirosuto.
Adapula cerita lain yang menyebutkan bahwa tradisi ini ditujukan pula untuk keselamatan bagi penduduk setempat yang pada umumnya berprofesi sebagai pengambil kapur gamping. Konon dahulu banyak orang yang tergelincir dan meninggal saat mengambil gamping. Dan anehnya kecelakaan yang merenggut nyawa itu selalu terjadi pada bulan Sapar. Oleh karena itu dengan diadakannya tardisi Saparan, warga setempat percaya bahwa tradisi ini sanggup memberikan kedamaian serta ketentraman bagi mereka. Dengan menjaga dan melestarikan tradisi ini, segala kesialan dan mara bahaya dipercaya bisa menjauh dari masyarakat setempat.
Peran sesajen dalam usungan kirab yaitu sebagai simbol membina hubungan batiniah yang harmonis antara manusia, Tuhan, dan semesta.Setiap kirab selalu diawali penyerahan patung bekakak kepada perangkat desa setempat. Sekaligus penyerahan air suci Tirto Donojari dan Tirto Mayangsari yang diambil dari sumber air di lokasi bekas Keraton Ambarketawang.Dan, kirab selanjutnya bergerak menuju Gunung Gamping dan Gunung Killing yang berjarak 4 kilometer dari lapangan Ambarketawang. Sampai di sana sepasang bekakak akhirnya disembelih.
Buat Masyarakat jogja, perayaan Sapar-an Bekakak selalu berkembang sesuai zaman. Semula fungsinya sebagai tanda syukur atas jasa kesetiaan Kiai Wiro-suto sekeluarga kepada raja. Belakangan tradisi itu sedikit bergeser menjadi sarana tolak bala agar masyarakat yang mencari batu gamping terbebas dari malapetaka.Pada masa kini, upacara tradisional dengan menyembelih sepasang bekakak akhirnya menjadi produk pariwisata.Adat seperti Saparan Bekakak ialah satu dari sekian banyak kekayaan budaya yang ada di Yogyakarta.
B.         Tahap-tahap dilaksanakannya upacara bekakak
Upacara bekakak ini dilaksanakan dengan empat tahap, diantaranya:

1.         Tahap Midodareni Bekakak
2.         Tahap Kirab
3.         Tahap Nyembelih Pengantian Bekakak
4.         Tahap Sugeng Ageng

Sebelum acara dilaksanakan, ada semacam mujahadahan yang dipimpin oleh sesepuh dari desa ambarketawang lalu dilaksanakanlah dengan arak-arakan peserta kirab dari berbagai “bregada” (prajurit),20 pasukan berkuda,4 pasukan bergajah, 2 bekakak, dan itu dimulai dari halaman balai desa Ambarketawang menuju Gunung Gamping yang berjarak 5 km, pada hari kamis mulai jam 20.00 dalam bentuk Midodareni serta pagelaran wayang kulit.
Puncak acaranya berupa kirab bekakak pada hari jum’at di desa Ambarketawang, kirab diawali upacara resmi yang dimeriahkan pertunjukkan tari gambyong(dahulu) dan kalau sekarang dengan (tahlilan,isthighosah) agar diwaktu mendatang lebih baik dari pada dulu. Peserta kirab dibagi menjadi 3:

1.         pra kitab: peserta peleton inti & drum band
2.         kirab adat: manggalayuda (pemimpin) kirab,              4 (pasukan bergajah), 20 (pasukan berkuda),            2 bekakak
3.         kirab penggembira: kesenian yang beraneka ragam,misalnya: tarian-tarian, dll.

C.         Nilai Norma-norma dalam upacara bekakak
Proses terbentuknya sistem keagamaan pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, berawal dari munculnya emosi keagamaan sehingga mempengaruhi manusia untuk melakukan aktifitas-aktifitas ritual. Dengan memiliki emosi keagamaan itu segala sesuatu yang tidak berarti, memiliki nilai keramat.

KESIMPULAN
Upacara Bekakak dilaksanakan pada minggu ke 3 dibulan sapar dan mulai hari kamis jam 20.00, sampai hari jum’at pada waktu nyembelih bekakak pada jam 16.00, bekakak terbuat dari ketan dan gula jawa, acara tersebut dilaksanakan guna mengenang jasa ki wirosuto dan nyi wirosuto yang mengabdi kepada sri sultan sampai meningga. Lalu sultan mengatakan kepada abdi dalemnya untuk mengadakan selamatan setiap tahun pada bulan sapar, tepatnya tanggal 10-20 bulan sapar.
Upacara diadakan atas perintah Pangeran Mangkubumi, dan upacara tersebut dilaksanakan dengan empat tahap: tahap midodareni, kirab,nyembelih pengantin, sugeng ageng. Peserta kirab dibagi menjadi tiga: pra kirab, kirab adat, kirab penggembira. Tujuannya untuk nyelamati (mendo’akan) ki wirasuta dan nyi wirosuto, serta menyedekahkan sebagian hasil panen mereka untuk bersama Dan sebelum upacara nyembelih bekakak pengantin, ada ritual khusus semacam mujahadahan dan tahlilannya juga.

Sumber